Jumat, 29 Agustus 2008

Budaya Aceh, Akankah Kekal?

Selama ini, kebudayaan Aceh sangatlah minim perhatian, baik dari pemerintah maupun masyarakat. Kami, sebagai siswa memang tidak dapat berbuat banyak. Hanya bisa menonton dan memang sedikit berusaha melestarikan budaya Aceh.

Yang selama ini kita lihat, hanya sebagian kecil dari kekayaan budaya Aceh. Aceh terkenal dengan tari-tariannya yang indah, berani dan tegas. Tetapi tidak hanya tarian yang harus ditunjukkan. Karena arti budaya tidak sesempit itu. Hmm,cium tangan atau salam juga budaya. Yah, itu Cuma contoh sederhananya.

Budaya Aceh sangatlah banyak,saya saja belum tentu tahu semuanya. Satu yang memang sangat menarik dan terus nempel di kepala saya. Yaitu budaya berbalas pantun saat intat linto baro. Dari dulu, saya sangat suka memperhatikan dan melihat budaya tersebut. Pernah ada kejadian lucu, salah seorang tante saya menikah dengan laki-laki yang bukan berasal dari Aceh dan memang tidak ada darah Acehnya sedikit pun. Saat balas-balas pantun tersebut, muka om saya itu berkerut terus, bingung katanya. Setelah acara balas pantun itu, ayah saya bertanya pada om saya ” Fajar, ngerti ga apa yang dibilang?”. Om saya jawab ” Saya ga tau bang. Bahasanya unik. Jadi saya ketawa-ketawa aja”. Langsung saya ketawa ngakak.

Om saya ini memang sudah sangat jatuh cinta dengan kebudayaan Aceh. Katanya, orang Aceh hanya tidak tahu dan belum sadar bagaimana cara melestarikan budaya dan kenapa kita harus melestarikannya. Yah, sebagai orang Aceh asli, saya memang merasa agak malu. Apalagi sekarang, di zaman globalisasi, masuknya budaya-budaya asing sangat mempengaruhi kelestarian budaya asli Aceh. Sebagai contoh, budaya mengucapkan salam setiap bertemu dengan teman dimanapun sudah jarang kita lihat, apalagi di kota seperti Banda Aceh. Tidak seperti di desa atau di kampung, setiap bertemu, salam tak pernah lupa diucapkan. Sayang..




Hmm, prihatin memang tidak cukup. Bagaimana pun, Action speak louder than words. Jadi, yang harus kita lakukan adalah tetap mencintai Aceh dan segala aspek yang ada didalamnya, termasuk budaya. Banggalah menjadi bagian dari sesuatu yang kaya dan takkan pernah habis. Dan kita juga harus melakukan sesuatu yang dapat mengubah dan membuat kebudayaan Aceh tetap terjaga dan kekal.

Kita dapat melihat dan mengambil contoh kepada negeri sakura, Jepang. Jepang adalah negeri yang maju dalam segala aspek, tetapi kebudayaannya masih sangat kental. Saat kunjungan saya ke Jepang bulan April-Mei 2008 yang lalu, ada seorang teman delegasi Indonesia bertanya kepada Sekretaris Perdana Menteri Jepang, mengapa pejabat-pejabat di Jepang tidak melakukan korupsi, jawaban yang saya kira akan panjang ternyata sangat simple. Beliau menjawab, karena orang Jepang sudah ditanamkan budaya malu sejak kecil. Ya, budaya malu. Hal kecil yang ternyata membawa dampak besar bagi kemajuan bangsa.

Ternyata, orang Jepang juga menempatkan masalah budaya negeri mereka yang mulai luntur sedikit-sedikit diatas semua masalah ekonomi,politik, dan lainnya. Hebat..
Kesadaran mereka terhadap pentingnya kekekalan budaya sangat tinggi. Hanya ini hal yang kita belum punya. Coba kalau kita memiliki kesadaran yang tinggi, tentu mudah saja dalam menjaga kelestarian budaya kita.

Cinta kepada negeri berarti membuatnya tetap hidup dan berjaya. Menjaganya, bertanggung jawab padanya, membuatnya bangga, melestarikannya, dan rela berkorban untuknya. Kita pasti bisa, jangan sampai kita hanya menjadi bangsa yang duduk diam melihat kebudayaan kita yang hilang sedikit demi sedikit.

Ini Aceh kita, kalau bukan kita yang peduli, siapa lagi?
hehe..

1 komentar:

Raisa Kamila mengatakan...

tinjauan kebudayaan itu sangat luas